Budaya
politik DI INDONESIA
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan
benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum,
adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.
Bagian-bagian budaya politik
Secara umum
budaya politik terbagi atas tiga :
- Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
- Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
- Budaya politik partisipatif (aktif)
Tipe-tipe
Budaya politik ==
- Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
- Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
- Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di indonesia == Gambaran
sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di telaah dan
di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai
berikut :
- Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
- Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
- Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
- kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
- Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Budaya Politik di Indonesia
- Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di
Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis
ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis
yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan
sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat
menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus
mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan
politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada
cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
- Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage
merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola
hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya
politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih
memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
- Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan
politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang
bersifat neo-patrimonisalistik;
artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik
zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya
politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
·
Adanya suatu
struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah
dalam organisasi
·
Adanya
posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tegas
·
Adanya
aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
·
Adanya personel
yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan
promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
A.
PENDAHULUAN
Kehidupan
manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti
makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga
mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota
masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung,
berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan
politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem
politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik,
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,
proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat
terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan
politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.
Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
B.
PENGERTIAN
BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama
oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya,
seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia,
menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung
membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik
dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan
mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau
menerima nilai-nilai dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang
menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi
seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas
kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan
pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman
konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.
Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam
memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak
ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya
fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual.
1.
Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya
politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita
ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan
konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan
rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu
politik tentang budaya politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola
tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati
oleh para anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik
adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan
nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik
adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan
nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu
politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik
adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang
dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap
objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham
Powell, Jr.
Budaya politik
berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh
populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada
bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau
menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang
budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa
konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual
berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual
seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan.
Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang
bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah
sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah
sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik
maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang
terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik.
Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan
melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik,
fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal
orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan
deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam
tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu
negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan
pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara
massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
1. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan
dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini
menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney,
terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan
orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih
komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang
klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen
obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif :
yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan
segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu
perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan
dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
C.
TIPE-TIPE
BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang
kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan
keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan
sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik
Militan
Budaya politik
dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari
alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan
disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan
membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran
berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus
yang wajar yang mana selalu membuka pintu
untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat
militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan
konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan
dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi
atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Absolut
Budaya politik
yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap
selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.
Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan
perhatian pada apa yang selaras
dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik
yang bernada absolut bisa tumbuh dari
tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha
memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan
segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang
absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Akomodatif
Struktur mental
yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan
bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu
yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai
salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa
variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter
dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik
yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya
politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel
Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik
parokial (parochial political culture),
yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor
kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture),
yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik
partisipan (participant political culture),
yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya
budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas.
Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah
sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a. Frekuensi
orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input,
obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati
nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik
yang khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi
parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif
yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan
apapun dari sistem politik.
e. Parokialisme murni
berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi
politik berada pada jenjang sangat minim.
f. Parokialisme
dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a. Terdapat
frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang
diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi
terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai
partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan
otoritas pemerintah
c. Hubungannya
terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara
esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat
di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek
lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a. Frekuensi
orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output,
dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana
anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap
sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c. Anggota
masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai
aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga
negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki
kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal
tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan
kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk
mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat
praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya
demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu
menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa
memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh
karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan
mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara
berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena
adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini
merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam
tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan
memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam
cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi
tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen
emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila
membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik
subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh
terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan
pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan
politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi
politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya
sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya
masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu
negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak
terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki
perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya
sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah
politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki
minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi
politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan
institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba
membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat
institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik
murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di
antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba
tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan
(the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat
dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini
cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi
partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan
modernis sebagian kecil, meskipun
terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif
menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian
besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem
ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula
keter-libatannya dalam peme-rintahan
|
Pola
kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau
mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah
diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan
atau harapan akan dukungan dari
rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting,
maka dia menuntut rakyat menunjukkan
kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat
dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari
rakyat, biasanya
mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung
mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat.
Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional
di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang
menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi
politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang
terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik
agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite
politik.
D.
SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA
POLITIK
1.
Pengertian Umum
Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan
sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana seseorang/individu
berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang.
Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi
di antara kepribadian individu dengan
pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk
satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem
politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan
sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada
stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran
tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang
aktif terhadap sistem
politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem
politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
1.
Pengertian
Menurut Para ahli
Berbagai
pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan
oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang
budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli
politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan
koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi
politik menurut para ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola
mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada
individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan),
motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang
sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan)
sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus
terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada
proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh
atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap
proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran
potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang
dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima
olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang
sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan
politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya
kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi
dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang
secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar
Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu
proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang
politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai
usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga
mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu
sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan
melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang
ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru.
Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama :
sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan
terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua
: sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang
berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai
atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung
dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau
kontak politik langsung.
Dari sekian
banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan
beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.
- Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian
banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althoff,
ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis,
sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan
tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa
yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua
variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian
akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu,
lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah
fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua
: adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik
yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa
berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak
perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat
memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa
secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak
bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar
sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara
tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah
seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada
perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari
sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik
dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan
terhadap tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada
satupun di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi
terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat
kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun
kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan
disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa
makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan
tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya kita
dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana
individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap
terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa
masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi.
Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan
tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada
keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi
itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,
maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin
terjadi stagnasi.
2.
Proses
Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja.
Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai
pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan
lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa
mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu
mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta
kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti
agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang
lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan
warga negara dalam sistem politik.
Peranan
keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai
ayahnya dan presiden selama
bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai
pengasuhan anak
yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
- Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
- Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar
tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat
dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi)
nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga.
Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2)
Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics
education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar
informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung
nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan
nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3)
Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik
adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai
politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara
periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus
mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat
dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada
masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan.
Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan
dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis.
Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat
egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii
bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati
tradisi mereka masing-masing.
4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat
Berkembang
Masalah sentral
sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh
contoh negara Turki, di mana satu
usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung
sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha
Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk
memodernisasi Turki, tidak hanya
secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting
dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
- Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
- Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan
dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat
dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan,
semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam
satu pemerintahan non totaliter, akan
semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
totaliter sifat perubahan politik,
semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri.
Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem
politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan
oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf
tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah
partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan
sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya
merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,
sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu
dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam
beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima
lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga
tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi
Politik
Sosialisasi
politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang
melibatkan baik belajar secara emosional (emotional
learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai
(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang
menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik
dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah
jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula
sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik
tersebut.
Dalam suatu
sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem
politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang
waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur
primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses
pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama” sengaja
digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam
pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri,
terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam
realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami
perubahan seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik.
Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan tingkat
keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka
ragam.
Pada sisi lain,
sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang
dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah
seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan
perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang
berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai
yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim
terhadap sistem, dan output
otorotatif-nya.
Dalam proses
sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan
dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi
itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok
sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela,
media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat
berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan,
relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses
tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik
bisa bersifat nyata (manifes)
dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam bentuk transmisi
informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem
politik.
|
Dalam bentuk transmisi informasi,
nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem
sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran,
input dan output sistem politik yang analog (adanya persamaan).
|
Dalam suatu
bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya,
informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena
faktor geografis baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara
berkembang, pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan
sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional
dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar.
Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara
kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari
kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan
negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus
informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai
sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat
kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan
demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan
media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa
atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap
para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui
tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
A. E. PERAN SERTA BUDAYA
POLITIK PARTISIPAN
1.
Pengertian
Partisipasi Politik
Pembahasan tentang
budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara.
Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena
keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan
aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam
kehidupan politik (partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya
keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi
bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan
politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi
dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima
penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik,
yaitu sebagai berikut :
a.
Modernisasi
dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut
untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b.
Perubahan-perubahan
struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan
keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola
partisipasi politik.
c.
Pengaruh kaum
intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah
menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan
industrialisasi yang cukup matang.
d.
Konflik antar
kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari
adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat
yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e.
Keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya
ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan
yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan
politik.
2.
Konsep
Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya
konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang
partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi
begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)
dan Post Behavioral (pasca
tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di
negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya
masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu
politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa
saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya
partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik
? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk
mendapat kejelasan tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab
berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang
secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep
partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
|
Konsep
|
Indikator
|
Kevin R. Hardwick
|
Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara
warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya
menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik
agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
|
Terdapat
interaksi antara warga negara dengan pemerintah
Terdapat
usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
|
Miriam Budiardjo
|
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy).
|
Berupa
kegiatan individu atau kelompok
Bertujuan
ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau
mempenga-ruhi kebijakan publik.
|
Ramlan Surbakti
|
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara
biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi
hidupnya.
Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara
biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan politik.
|
Keikutsertaan
warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
Dilakukan
oleh warga negara biasa
|
Michael Rush dan Philip Althoft
|
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai
pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
|
Berwujud
keterlibatan individu dalam sistem politik
Memiliki
tingkatan-tingkatan partisipasi
|
Huntington dan Nelson
|
Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen) yang
bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
|
Berupa
kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan
Memiliki
tujuan mempengaruh kebijakan publik
Dilakukan
oleh warga negara preman (biasa)
|
Herbert McClosky
|
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela
dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum.
|
Berupa
kegiatan-kegiatan sukarela
Dilakukan
oleh warga negara
Warga negara
terlibat dalam proses-proses politik
|
Berdasarkan
beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa
sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap
partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan
sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan
partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,
sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang
dilakukan oleh non-warga negara biasa.